This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri joko-widodo. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri joko-widodo. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Oktober 2014

Terkini Kabinet Kerja Joko Widodo - Jk



Joko Widodo dan Jusuf Kalla
Presiden Joko Widodo (jokowi) menyampaikan telah menunjuk 34 menteri untuk menemaninya selama lima tahun mendatang. Jokowi menamakan kabinetnya, sebagai kabinet kerja.
Jokowi pun mengungkap alasan pemilihan nama kabinet ini, dengan alasan filosofis nama Kabinet Kerja lebih dipilih orang nomor satu di Indonesia ini.

"Yang paling penting filosofinya implementasi trisakti untuk memberi kesan bahwa kabinet harus bekerja," kata Jokowi sehabis pengumuman di Taman Istana Merdeka, Komplek Istana, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Minggu (26/10/2014) sore.

Dalam Kabinet Kerja, kata dia, nyawa dari trisakti itu sudah terwakilkan. Lebih lanjut, trisakti sendiri yang menciptakan menteri-menteri harus bekerja untuk Indonesia lebih baik.

Inilah Susunan Lengkap Kabinet Kerja Jokowi - JK:

1. Menteri Sekretaris Negara: Pratikno
2. Kepala Bappenas: Andrinof Chaniago
3. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman: Indroyono Soesilo
4. Menteri Perhubungan: Ignasius Jonan
5. Menteri Kelautan dan Perikanan: Susi Pudjiastuti
6. Menteri Pariwisata: Arief Yahya
7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Sudirman Said
8. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan: Tedjo Edy Purdjianto
9. Menteri Dalam Negeri: Tjahjo Kumolo
10. Menteri Luar Negeri: Retno Lestari Priansari Marsudi
11. Menteri Pertahanan: Ryamizard Ryacudu
12. Menteri Hukum dan HAM: Yasonna H Laoly
13. Menteri Komunikasi dan Informatika: Rudiantara
14. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara: Yuddy Chrisnandi
15. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian: Sofyan Djalil
16. Menteri Keuangan: Bambang Brodjonegoro
17. Menteri Badan Usaha Milik Negara: Rini M Soemarno
18. Menteri Koperasi dan UKM: Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga
19. Menteri Perindustrian: Saleh Husin
20. Menteri Perdagangan: Rahmat Gobel
21. Menteri Pertanian: Amran Sulaiman
22. Menteri Ketenagakerjaan: Hanif Dhakiri
23. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat: Basuki Hadimuljono
24. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Siti Nurbaya
25. Menteri Agraria dan Tata Ruang: Ferry Mursyidan Baldan
26. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan: Puan Maharani
27. Menteri Agama: Lukman Hakim Saifuddin
28. Menteri Kesehatan: Nila F Moeloek
29. Menteri Sosial: Khofifah Indar Parawansa
30. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Yohana Yambise
31. Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah: Anies Baswedan
32. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi: M Nasir
33. Menteri Pemuda dan Olahraga: Imam Nahrawi
34. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi: Marwan Jafar


Senin, 29 Januari 2018

Sangat Viral 2018: Tahun Politik Atau Tahun Sepakbola?



Jika pertanyaan di atas ditanyakan kepada penulis, maka jawabannya ialah Tahun Sepakbola. Atau mungkin sedikit lebih luas 2018 ialah Tahun Olahraga. Di level dunia ada ada pesta sepakbola dunia (World Cup 2018) dan di level Asia ada pesta olahraga multi event Asia Games di Jakarta. Soal politik dan pilkada banyak yang memprediksi bahwa suhu politik akan memanas. Adalah Jusuf Kalla, politikus senior Golkar, sang Wapres, dengan enteng berseloroh: “Hangat di pembicaraan tapi tetap hambar di lapangan. Semua akan mengalir dan pada saatnya akan hambar kembali”. Sebuah statement pemimpin yang menenangkan.

Tahun 2017 sudah berakhir. Jejak-jejak waktu di tahun 2017 secara highlight dengan gampang dan cepat sanggup ditelusuri dengan membuka galeri foto dan status di media sosial. Lalu, selamat tiba 2018. Optimisme dan harapan harus tetap dirawat. Setidaknya 171 tempat akan menggelar pemilihan eksklusif kepala tempat (Pilkada), terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Parpol yang mengusung bakal calon kepala tempat akan memosisikan kemenangan Pilkada sebagai “babak kualifikasi” dan fondasi untuk sukses dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan digelar serentak di Tahun 2019. Tahun 2018 ialah tahun politik.

Dalam sebuah ulasan ekonomi 2018 disebutkan Belanja Pemerintah di Tahun 2018 ialah APBN rasa Populis. Begitu banyak anggaran diecer eksklusif ke masyarakat. Semuanya sah-sah saja. Toh selama memberi pengaruh eksklusif kepada masyarakat lapis terendah, akan lebih memberi pengaruh luas, dibanding stimulus dan insentif yang diberikan kepada pelaku ekonomi kelas atas.

Lalu, apakah yang menarik selain melulu soal politik di Tahun 2018? Setidaknya ada dua lagi momentum yang semenjak kini di beberapa spot dibentuk hitung mundur (countdown) yaitu: World Cup 2018 di Rusia dan Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang. Lalu pertanyaan lanjutannya, manakah yang lebih menarik dan menghibur? Politikkah? Sepakbola? Tentu akan ada banyak jawaban. Masing masing akan menjawab dengan argumentasi dan analisisnya masing masing.

Bagi penulis sendiri membuka peluang bahwa kedua-duanya menarik dan justru ada benang merahnya. Bagi Sindhunata, seorang filosof yang juga seorang jurnalis, sepakbola ialah sumber ilham dalam banyak hal, termasuk dalam politik. Dari catatannya kita bisa mengurai satu persatu hubungan antara sepakbola dengan sosial, ekonomi, politik, psikologi, filsafat atau apapun itu. Sindhunata dalam tulisannya, politik yang akan mewarnai sepakbola ataukah sebaliknya: sepakbola akan melebur hiruk pikuk politik menjadi sebuah hiburan?

Antara Cristiano Ronaldo, Ridwan Kamil dan Jokowi

Ada yang tidak mengenal tokoh tokoh di atas? Dalam banyak hal, ketiga tokoh ini ialah sebetulnya “pemain bola yang berpolitik” atau Politikus yang paham Sepakbola. Ronaldo, striker Tim Nasional Portugal dan Klub elit Real Madrid, ialah peraih FIFA Ballon D’Or, penghargaaan pemain sepakbola dunia terbaik sejagat. 4 tahun berturut turut. Dengan penghasilan Rp 5,3 T setahun dan 120.582.603 pengikutnya di media sosial. Dengan kepemimpinnya, Portugal justru menjadi Juara Eropa bukan pada ketika menjadi tuan rumah tahun 2012. Tapi Justru di Tahun 2016. Melawan Perancis yang menjadi tuan rumah dan menjadi unggulan. Kemampuannya memotivasi ketika detik detik tamat final dari dingklik cadangan, ialah menyerupai pemimpin politik yang berdiri di tengah tengah krisis politik. Maka ketika itu, Cristiano Ronaldo ialah “presiden” Portugal. Lalu adakah yang mengenal nama Presiden Portugal? Jangan jangan ada yang menyebut Cristiano Rinaldo, presidennya.

Lalu Ridwan Kamil, seorang arsitek profesional yang kemudiaan menjadi Walikota Bandung. Salah satu kandidat besar lengan berkuasa Gubernur Provinsi Jawa Barat dalam Pilkada 2018. Seperti Cristiano Ronaldo: ganteng, smart dan lihai memaksimalkan media umum dengan follower 3.256.122. Ide-ide nya dalam membangun Kota Bandung mirip skill dribling dan shooting Ronaldo atau Lionel Messi dalam memanfaatkan untuk menjadi gol dalam setiap pertandingan. Selalu menjadi pembeda dan solution maker di tengah kejenuhan dan kebuntuan suatu rutinitas dalam pakem pembangunan yang “business as usual”. Sebagai Walikota Bandung dan juga pendukung Persib, ia dengan lihai memanfaatkan eforia kesuksesan Persib menjadi juara Liga Indonesia untuk larut bersama bobotoh yang juga ialah “potential voter” yang besar.

Sementara Joko Widodo, ialah pemain dengan tipikal pekerja keras. Ahli Percepatan. 5 Tahun cukup baginya untuk meraih jabatan politik yang “wah” : Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa. Meski berperawakan kurus, “klemat klemot” khas orang Jawa Solo, Jokowi ialah antitesa dari agresivitas gol Cristiano Ronaldo atau sang Walikota Ridwan Kamil yang elegan. Maka Jokowi ialah tipikal pemain bertahan (defensif). Dalam sistem defensif ini, pemain hanya betah di wilayahnya sendiri. Bertualang di tempat lawan sebisa-bisanya diminimalkan. Ide untuk menciptakan dan menentukan permainan, inisiatif untuk menyerang, memprovokasi supaya lawan juga mengatakan rujukan permainannya, semua ialah “larangan” dalam birokrasi sistem defensif. Sebaliknya, menanti dan mengharapkan lawan melaksanakan kesalahan, menanti kesempatan “counter”. Jokowi dengan sabar dan setia dibarisan belakang dan bisa mengoptimalkan semua pemain lain di semua lini untuk membentuk tim yang solid dan produktif. Lawan lawan politiknya takluk secara pelan pelan. Ibarat Timnas Italia, menjadi Juara Dunia 2010 atau tim non unggulan Estonia di Piala Dunia 2018 mendatang.

Tahun 2018: Siapakah Makara Pemenang?

Lalu pertanyaannya, di Tahun Politik, di Pilkada 2018, apakah periode politik menyerang atau justru kemenangan bagi politik bertahan? Apakah Cristiano Ronaldo akan kembali berjaya di Wold Cup Rusia? Yang terperinci Belanda, atau identik dengan Ahok, sang penganut filosofi menyerang (total football), tergoda oleh stareginya yang over agresif. Tetapi juga di sisi lain, Timnas Italia, sang penganut ketat politik bertahan sudah gugur di putaran final. Apakah ini bertanda pemain bertahan mirip Jokowi akan mirip itu? Ataukah kejayaan bagi penganut politik populis ala Ridwal Kamil?

Menurut Penulis, di tengah kegalauan yang amat sangat, makin lebarnya antara keinginan dan tuntutan kebutuhan, tekanan ekonomi yang makin berat, inflasi yang tidak terkendali, suku bunga bank yang tidak stabil, pajak yang makin mencekik, maka banyak mahir ekonomi dan futurolog yang memprediksi ekonomi akan bergerak realistis dan bahkan cenderung pesimistis. Para penonton, para pemilih, ataupun masyarakat kebanyakan akan lebih gampang menyukai dan mendapatkan “janji-janji” politik dan taktik permainan yang populis. Permainan politik yang santun dan menenangkan. Yang bisa bertahan dan memaksimalkan kemampuan yang ada untuk mencapai cita-cita impiannya. Sabar bertahan tetapi juga lihai menyerang pada ketika saat yang tepat.

Siapakah ia pemenangnya? Kita tunggu saja dan catat tanggal mainnya. Pilkada serentak telah dimulai semenjak proses registrasi penerima awal Januari 2018 dan akan memuncak pada pemungutan bunyi 27 Juni 2018. Sementara World Cup 2018 telah menentukan 32 penerima putaran final dan akan saling bertarung dari 14 Juni-15 Juli 2018.

Melihat puncak eskalasinya hampir berdekatan, tampaknya informasi Pilkada dan World Cup akan saling merebut headline media massa dan hiruk pikuk di media umum di medio Juli-Juli mendatang. Menurut penulis, situasi psikologis antara pencinta sepakbola dan penikmat politik akan berjalan linier. Tahun 2018 apakah tahun politik atau tahun sepakbola? jawabannya ialah akan bertemu dalam satu benang merah bahwa sepakbola atau politik akan indah apabila prosesnya berjalan dalam suasana yang jujur (fair play), saling menghormati (respect), dan antidiskriminasi dan SARA.

Penulis : M. Ramadhani


Sangat Viral 2018: Tahun Politik Atau Tahun Sepakbola?



Jika pertanyaan di atas ditanyakan kepada penulis, maka jawabannya ialah Tahun Sepakbola. Atau mungkin sedikit lebih luas 2018 ialah Tahun Olahraga. Di level dunia ada ada pesta sepakbola dunia (World Cup 2018) dan di level Asia ada pesta olahraga multi event Asia Games di Jakarta. Soal politik dan pilkada banyak yang memprediksi bahwa suhu politik akan memanas. Adalah Jusuf Kalla, politikus senior Golkar, sang Wapres, dengan enteng berseloroh: “Hangat di pembicaraan tapi tetap hambar di lapangan. Semua akan mengalir dan pada saatnya akan hambar kembali”. Sebuah statement pemimpin yang menenangkan.

Tahun 2017 sudah berakhir. Jejak-jejak waktu di tahun 2017 secara highlight dengan gampang dan cepat sanggup ditelusuri dengan membuka galeri foto dan status di media sosial. Lalu, selamat tiba 2018. Optimisme dan harapan harus tetap dirawat. Setidaknya 171 tempat akan menggelar pemilihan eksklusif kepala tempat (Pilkada), terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Parpol yang mengusung bakal calon kepala tempat akan memosisikan kemenangan Pilkada sebagai “babak kualifikasi” dan fondasi untuk sukses dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan digelar serentak di Tahun 2019. Tahun 2018 ialah tahun politik.

Dalam sebuah ulasan ekonomi 2018 disebutkan Belanja Pemerintah di Tahun 2018 ialah APBN rasa Populis. Begitu banyak anggaran diecer eksklusif ke masyarakat. Semuanya sah-sah saja. Toh selama memberi pengaruh eksklusif kepada masyarakat lapis terendah, akan lebih memberi pengaruh luas, dibanding stimulus dan insentif yang diberikan kepada pelaku ekonomi kelas atas.

Lalu, apakah yang menarik selain melulu soal politik di Tahun 2018? Setidaknya ada dua lagi momentum yang semenjak kini di beberapa spot dibentuk hitung mundur (countdown) yaitu: World Cup 2018 di Rusia dan Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang. Lalu pertanyaan lanjutannya, manakah yang lebih menarik dan menghibur? Politikkah? Sepakbola? Tentu akan ada banyak jawaban. Masing masing akan menjawab dengan argumentasi dan analisisnya masing masing.

Bagi penulis sendiri membuka peluang bahwa kedua-duanya menarik dan justru ada benang merahnya. Bagi Sindhunata, seorang filosof yang juga seorang jurnalis, sepakbola ialah sumber ilham dalam banyak hal, termasuk dalam politik. Dari catatannya kita bisa mengurai satu persatu hubungan antara sepakbola dengan sosial, ekonomi, politik, psikologi, filsafat atau apapun itu. Sindhunata dalam tulisannya, politik yang akan mewarnai sepakbola ataukah sebaliknya: sepakbola akan melebur hiruk pikuk politik menjadi sebuah hiburan?

Antara Cristiano Ronaldo, Ridwan Kamil dan Jokowi

Ada yang tidak mengenal tokoh tokoh di atas? Dalam banyak hal, ketiga tokoh ini ialah sebetulnya “pemain bola yang berpolitik” atau Politikus yang paham Sepakbola. Ronaldo, striker Tim Nasional Portugal dan Klub elit Real Madrid, ialah peraih FIFA Ballon D’Or, penghargaaan pemain sepakbola dunia terbaik sejagat. 4 tahun berturut turut. Dengan penghasilan Rp 5,3 T setahun dan 120.582.603 pengikutnya di media sosial. Dengan kepemimpinnya, Portugal justru menjadi Juara Eropa bukan pada ketika menjadi tuan rumah tahun 2012. Tapi Justru di Tahun 2016. Melawan Perancis yang menjadi tuan rumah dan menjadi unggulan. Kemampuannya memotivasi ketika detik detik tamat final dari dingklik cadangan, ialah menyerupai pemimpin politik yang berdiri di tengah tengah krisis politik. Maka ketika itu, Cristiano Ronaldo ialah “presiden” Portugal. Lalu adakah yang mengenal nama Presiden Portugal? Jangan jangan ada yang menyebut Cristiano Rinaldo, presidennya.

Lalu Ridwan Kamil, seorang arsitek profesional yang kemudiaan menjadi Walikota Bandung. Salah satu kandidat besar lengan berkuasa Gubernur Provinsi Jawa Barat dalam Pilkada 2018. Seperti Cristiano Ronaldo: ganteng, smart dan lihai memaksimalkan media umum dengan follower 3.256.122. Ide-ide nya dalam membangun Kota Bandung mirip skill dribling dan shooting Ronaldo atau Lionel Messi dalam memanfaatkan untuk menjadi gol dalam setiap pertandingan. Selalu menjadi pembeda dan solution maker di tengah kejenuhan dan kebuntuan suatu rutinitas dalam pakem pembangunan yang “business as usual”. Sebagai Walikota Bandung dan juga pendukung Persib, ia dengan lihai memanfaatkan eforia kesuksesan Persib menjadi juara Liga Indonesia untuk larut bersama bobotoh yang juga ialah “potential voter” yang besar.

Sementara Joko Widodo, ialah pemain dengan tipikal pekerja keras. Ahli Percepatan. 5 Tahun cukup baginya untuk meraih jabatan politik yang “wah” : Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa. Meski berperawakan kurus, “klemat klemot” khas orang Jawa Solo, Jokowi ialah antitesa dari agresivitas gol Cristiano Ronaldo atau sang Walikota Ridwan Kamil yang elegan. Maka Jokowi ialah tipikal pemain bertahan (defensif). Dalam sistem defensif ini, pemain hanya betah di wilayahnya sendiri. Bertualang di tempat lawan sebisa-bisanya diminimalkan. Ide untuk menciptakan dan menentukan permainan, inisiatif untuk menyerang, memprovokasi supaya lawan juga mengatakan rujukan permainannya, semua ialah “larangan” dalam birokrasi sistem defensif. Sebaliknya, menanti dan mengharapkan lawan melaksanakan kesalahan, menanti kesempatan “counter”. Jokowi dengan sabar dan setia dibarisan belakang dan bisa mengoptimalkan semua pemain lain di semua lini untuk membentuk tim yang solid dan produktif. Lawan lawan politiknya takluk secara pelan pelan. Ibarat Timnas Italia, menjadi Juara Dunia 2010 atau tim non unggulan Estonia di Piala Dunia 2018 mendatang.

Tahun 2018: Siapakah Makara Pemenang?

Lalu pertanyaannya, di Tahun Politik, di Pilkada 2018, apakah periode politik menyerang atau justru kemenangan bagi politik bertahan? Apakah Cristiano Ronaldo akan kembali berjaya di Wold Cup Rusia? Yang terperinci Belanda, atau identik dengan Ahok, sang penganut filosofi menyerang (total football), tergoda oleh stareginya yang over agresif. Tetapi juga di sisi lain, Timnas Italia, sang penganut ketat politik bertahan sudah gugur di putaran final. Apakah ini bertanda pemain bertahan mirip Jokowi akan mirip itu? Ataukah kejayaan bagi penganut politik populis ala Ridwal Kamil?

Menurut Penulis, di tengah kegalauan yang amat sangat, makin lebarnya antara keinginan dan tuntutan kebutuhan, tekanan ekonomi yang makin berat, inflasi yang tidak terkendali, suku bunga bank yang tidak stabil, pajak yang makin mencekik, maka banyak mahir ekonomi dan futurolog yang memprediksi ekonomi akan bergerak realistis dan bahkan cenderung pesimistis. Para penonton, para pemilih, ataupun masyarakat kebanyakan akan lebih gampang menyukai dan mendapatkan “janji-janji” politik dan taktik permainan yang populis. Permainan politik yang santun dan menenangkan. Yang bisa bertahan dan memaksimalkan kemampuan yang ada untuk mencapai cita-cita impiannya. Sabar bertahan tetapi juga lihai menyerang pada ketika saat yang tepat.

Siapakah ia pemenangnya? Kita tunggu saja dan catat tanggal mainnya. Pilkada serentak telah dimulai semenjak proses registrasi penerima awal Januari 2018 dan akan memuncak pada pemungutan bunyi 27 Juni 2018. Sementara World Cup 2018 telah menentukan 32 penerima putaran final dan akan saling bertarung dari 14 Juni-15 Juli 2018.

Melihat puncak eskalasinya hampir berdekatan, tampaknya informasi Pilkada dan World Cup akan saling merebut headline media massa dan hiruk pikuk di media umum di medio Juli-Juli mendatang. Menurut penulis, situasi psikologis antara pencinta sepakbola dan penikmat politik akan berjalan linier. Tahun 2018 apakah tahun politik atau tahun sepakbola? jawabannya ialah akan bertemu dalam satu benang merah bahwa sepakbola atau politik akan indah apabila prosesnya berjalan dalam suasana yang jujur (fair play), saling menghormati (respect), dan antidiskriminasi dan SARA.

Penulis : M. Ramadhani


Sangat Viral 2018: Tahun Politik Atau Tahun Sepakbola?



Jika pertanyaan di atas ditanyakan kepada penulis, maka jawabannya ialah Tahun Sepakbola. Atau mungkin sedikit lebih luas 2018 ialah Tahun Olahraga. Di level dunia ada ada pesta sepakbola dunia (World Cup 2018) dan di level Asia ada pesta olahraga multi event Asia Games di Jakarta. Soal politik dan pilkada banyak yang memprediksi bahwa suhu politik akan memanas. Adalah Jusuf Kalla, politikus senior Golkar, sang Wapres, dengan enteng berseloroh: “Hangat di pembicaraan tapi tetap hambar di lapangan. Semua akan mengalir dan pada saatnya akan hambar kembali”. Sebuah statement pemimpin yang menenangkan.

Tahun 2017 sudah berakhir. Jejak-jejak waktu di tahun 2017 secara highlight dengan gampang dan cepat sanggup ditelusuri dengan membuka galeri foto dan status di media sosial. Lalu, selamat tiba 2018. Optimisme dan harapan harus tetap dirawat. Setidaknya 171 tempat akan menggelar pemilihan eksklusif kepala tempat (Pilkada), terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Parpol yang mengusung bakal calon kepala tempat akan memosisikan kemenangan Pilkada sebagai “babak kualifikasi” dan fondasi untuk sukses dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan digelar serentak di Tahun 2019. Tahun 2018 ialah tahun politik.

Dalam sebuah ulasan ekonomi 2018 disebutkan Belanja Pemerintah di Tahun 2018 ialah APBN rasa Populis. Begitu banyak anggaran diecer eksklusif ke masyarakat. Semuanya sah-sah saja. Toh selama memberi pengaruh eksklusif kepada masyarakat lapis terendah, akan lebih memberi pengaruh luas, dibanding stimulus dan insentif yang diberikan kepada pelaku ekonomi kelas atas.

Lalu, apakah yang menarik selain melulu soal politik di Tahun 2018? Setidaknya ada dua lagi momentum yang semenjak kini di beberapa spot dibentuk hitung mundur (countdown) yaitu: World Cup 2018 di Rusia dan Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang. Lalu pertanyaan lanjutannya, manakah yang lebih menarik dan menghibur? Politikkah? Sepakbola? Tentu akan ada banyak jawaban. Masing masing akan menjawab dengan argumentasi dan analisisnya masing masing.

Bagi penulis sendiri membuka peluang bahwa kedua-duanya menarik dan justru ada benang merahnya. Bagi Sindhunata, seorang filosof yang juga seorang jurnalis, sepakbola ialah sumber ilham dalam banyak hal, termasuk dalam politik. Dari catatannya kita bisa mengurai satu persatu hubungan antara sepakbola dengan sosial, ekonomi, politik, psikologi, filsafat atau apapun itu. Sindhunata dalam tulisannya, politik yang akan mewarnai sepakbola ataukah sebaliknya: sepakbola akan melebur hiruk pikuk politik menjadi sebuah hiburan?

Antara Cristiano Ronaldo, Ridwan Kamil dan Jokowi

Ada yang tidak mengenal tokoh tokoh di atas? Dalam banyak hal, ketiga tokoh ini ialah sebetulnya “pemain bola yang berpolitik” atau Politikus yang paham Sepakbola. Ronaldo, striker Tim Nasional Portugal dan Klub elit Real Madrid, ialah peraih FIFA Ballon D’Or, penghargaaan pemain sepakbola dunia terbaik sejagat. 4 tahun berturut turut. Dengan penghasilan Rp 5,3 T setahun dan 120.582.603 pengikutnya di media sosial. Dengan kepemimpinnya, Portugal justru menjadi Juara Eropa bukan pada ketika menjadi tuan rumah tahun 2012. Tapi Justru di Tahun 2016. Melawan Perancis yang menjadi tuan rumah dan menjadi unggulan. Kemampuannya memotivasi ketika detik detik tamat final dari dingklik cadangan, ialah menyerupai pemimpin politik yang berdiri di tengah tengah krisis politik. Maka ketika itu, Cristiano Ronaldo ialah “presiden” Portugal. Lalu adakah yang mengenal nama Presiden Portugal? Jangan jangan ada yang menyebut Cristiano Rinaldo, presidennya.

Lalu Ridwan Kamil, seorang arsitek profesional yang kemudiaan menjadi Walikota Bandung. Salah satu kandidat besar lengan berkuasa Gubernur Provinsi Jawa Barat dalam Pilkada 2018. Seperti Cristiano Ronaldo: ganteng, smart dan lihai memaksimalkan media umum dengan follower 3.256.122. Ide-ide nya dalam membangun Kota Bandung mirip skill dribling dan shooting Ronaldo atau Lionel Messi dalam memanfaatkan untuk menjadi gol dalam setiap pertandingan. Selalu menjadi pembeda dan solution maker di tengah kejenuhan dan kebuntuan suatu rutinitas dalam pakem pembangunan yang “business as usual”. Sebagai Walikota Bandung dan juga pendukung Persib, ia dengan lihai memanfaatkan eforia kesuksesan Persib menjadi juara Liga Indonesia untuk larut bersama bobotoh yang juga ialah “potential voter” yang besar.

Sementara Joko Widodo, ialah pemain dengan tipikal pekerja keras. Ahli Percepatan. 5 Tahun cukup baginya untuk meraih jabatan politik yang “wah” : Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa. Meski berperawakan kurus, “klemat klemot” khas orang Jawa Solo, Jokowi ialah antitesa dari agresivitas gol Cristiano Ronaldo atau sang Walikota Ridwan Kamil yang elegan. Maka Jokowi ialah tipikal pemain bertahan (defensif). Dalam sistem defensif ini, pemain hanya betah di wilayahnya sendiri. Bertualang di tempat lawan sebisa-bisanya diminimalkan. Ide untuk menciptakan dan menentukan permainan, inisiatif untuk menyerang, memprovokasi supaya lawan juga mengatakan rujukan permainannya, semua ialah “larangan” dalam birokrasi sistem defensif. Sebaliknya, menanti dan mengharapkan lawan melaksanakan kesalahan, menanti kesempatan “counter”. Jokowi dengan sabar dan setia dibarisan belakang dan bisa mengoptimalkan semua pemain lain di semua lini untuk membentuk tim yang solid dan produktif. Lawan lawan politiknya takluk secara pelan pelan. Ibarat Timnas Italia, menjadi Juara Dunia 2010 atau tim non unggulan Estonia di Piala Dunia 2018 mendatang.

Tahun 2018: Siapakah Makara Pemenang?

Lalu pertanyaannya, di Tahun Politik, di Pilkada 2018, apakah periode politik menyerang atau justru kemenangan bagi politik bertahan? Apakah Cristiano Ronaldo akan kembali berjaya di Wold Cup Rusia? Yang terperinci Belanda, atau identik dengan Ahok, sang penganut filosofi menyerang (total football), tergoda oleh stareginya yang over agresif. Tetapi juga di sisi lain, Timnas Italia, sang penganut ketat politik bertahan sudah gugur di putaran final. Apakah ini bertanda pemain bertahan mirip Jokowi akan mirip itu? Ataukah kejayaan bagi penganut politik populis ala Ridwal Kamil?

Menurut Penulis, di tengah kegalauan yang amat sangat, makin lebarnya antara keinginan dan tuntutan kebutuhan, tekanan ekonomi yang makin berat, inflasi yang tidak terkendali, suku bunga bank yang tidak stabil, pajak yang makin mencekik, maka banyak mahir ekonomi dan futurolog yang memprediksi ekonomi akan bergerak realistis dan bahkan cenderung pesimistis. Para penonton, para pemilih, ataupun masyarakat kebanyakan akan lebih gampang menyukai dan mendapatkan “janji-janji” politik dan taktik permainan yang populis. Permainan politik yang santun dan menenangkan. Yang bisa bertahan dan memaksimalkan kemampuan yang ada untuk mencapai cita-cita impiannya. Sabar bertahan tetapi juga lihai menyerang pada ketika saat yang tepat.

Siapakah ia pemenangnya? Kita tunggu saja dan catat tanggal mainnya. Pilkada serentak telah dimulai semenjak proses registrasi penerima awal Januari 2018 dan akan memuncak pada pemungutan bunyi 27 Juni 2018. Sementara World Cup 2018 telah menentukan 32 penerima putaran final dan akan saling bertarung dari 14 Juni-15 Juli 2018.

Melihat puncak eskalasinya hampir berdekatan, tampaknya informasi Pilkada dan World Cup akan saling merebut headline media massa dan hiruk pikuk di media umum di medio Juli-Juli mendatang. Menurut penulis, situasi psikologis antara pencinta sepakbola dan penikmat politik akan berjalan linier. Tahun 2018 apakah tahun politik atau tahun sepakbola? jawabannya ialah akan bertemu dalam satu benang merah bahwa sepakbola atau politik akan indah apabila prosesnya berjalan dalam suasana yang jujur (fair play), saling menghormati (respect), dan antidiskriminasi dan SARA.

Penulis : M. Ramadhani


Minggu, 09 November 2014

Terkini Agenda Indonesia Pintar



Tujuan dari kegiatan Indonesia Pintar ini yaitu menghilangkan kendala ekonomi siswa untuk bersekolah sehingga mereka memperoleh kanal pelayanan pendidikan yang layak, di tingkat dasar dan menengah. Program ini juga mencegah siswa dari kemungkinan putus sekolah akhir kesulitan ekonomi, menarik siswa putus sekolah semoga kembali bersekolah. Bukan itu saja, kegiatan ini juga membantu siswa memenuhi kebutuhan dalam kegiatan pembelajaran.  Lebih luas lagi, kegiatan Indonesia Pintar mendukung kegiatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pendidikan Menengah Universal/Wajib Belajar 12 Tahun

Pada tahap awal ini, pemerintah membagikan Kartu Indonesia Pintar kepada 157.943 anak usia sekolah dari keluarga kurang bisa tersebut semenjak bulan November sampai Desember 2014. Selanjutnya,  secara sedikit demi sedikit cakupan penerima akan diperluas menjangkau masyarakat kurang mampu  yang mencapai 24 juta anak usia sekolah, termasuk anak usia sekolah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan anak usia sekolah dari keluarga kurang bisa yang selama ini tidak dijamin.

Pada tahap lanjutan, KIP meliputi pula anak usia sekolah yang tidak berada di sekolah menyerupai anak jalanan, pekerja anak,  di panti asuhan, dan  difabel. Selain berlaku di sekolah/madrasah, KIP berlaku juga di pesantren, sentra kegiatan mencar ilmu masyarakat dan Balai Latihan Kerja (BLK). Lebih jauh, KIP  mendorong mengikutsertakan anak usia sekolah yang belum terdaftar di satuan pendidikan untuk kembali bersekolah.
Konsep KIP, kata Mendikbud, akan menjangkau masyarakat pra sejahtera baik yang berada di sekolah maupun yang di luar sekolah. Dia menjelaskan, anak yang berada di luar sekolah ini menyerupai anak jalanan, anak yatim yang berada di yayasan yatim piatu, maupun belum dewasa yang berada di sekolah yang tidak tercatat di kementerian. 

Implementasi penyaluran dukungan kepada siswa miskin tidak lagi dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sesuai dengan isyarat Presiden Joko Widodo, penyaluran dana yang termasuk ke dalam kategori dana dukungan sosial (bansos) dipusatkan melalui Kementerian Sosial (Kemensos). 

Menteri Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menegaskan bahwa Kartu Indonesia Pintar bukan semata pergantian nama dari Bantuan Siswa Miskin.
Menurut Anies, ada perbedaan fundamental dalam konsep KIP dengan BSM. Bila BSM hanya menyasar siswa miskin menurut data dari sekolah, papar dia, maka KIP menjangkau semua anak usia sekolah dari keluarga miskin.
Namun, kata Anies, anggaran KIP untuk sementara akan sama dengan anggaran yang sudah dialokasikan untuk kegiatan BSM. Menurut dia, pemerintah kini tengah melaksanakan pemutakhiran data untuk KIP.

Kartu Indonesia Pintar (KIP) akan menyasar pada anak kurang bisa yang sebelumnya mendapatkan Bantuan Siswa Miskin (BSM) maupun belum dewasa yang tidak menempuh pendidikan formal. Setiap siswa SD akan menerima Rp 225.000  per semester. Besaran KIP untuk siswa Sekolah Menengah Pertama yaitu Rp 375.000 per siswa per semester, dan Rp 500.000 untuk pelajar SMA/SMK per siswa per semester.