Senin, 19 Januari 2015

Terkini Sepak Bola Sebagai Sport Bisnis



Dari tahun ke tahun, gebyar persepakbolaan di saentero dunia dan khususnya di Indonesia memberikan peningkatan kuantitas dilihat dari maraknya tumbuh klub-klub di tempat meskipun secara kualitas masih jauh dari impian limit sebuah klub sepakbola. Dikatakan profesional tetapi manajemennya amburadul, dikatakan klub amatir tetapi berani tampil di liga professional dengan mencari celah kelemahan organisasi PSSI yang memang lemah. Memang untuk mengharap hadirnya sebuah klub sepakbola disamping aktivitas pelatihan atlit muda tidak bisa dipungkiri bahwa pada hasilnya toh sebuah klub sepakbola harus bermuara pada keuntungan, tidak kesenangan saja.
Berpijak dari fakta tersebut, upaya untuk tetap eksis pada kompetisi yang sangat padat dan melelahkan harus ada paradigma yang tidak sekedar berorientasi pada pencapaian prestasi klub saja tetapi harus ada pedoman kearah yang lebih spesifik yakni laba klub itu sendiri.
Ini fakta yang mengejutkan sekaligus menakutkan, bahwa semua klub di tanah air kalau betul-betul diverifikasi secara profesional tidak bakalan lolos dari segala aspek, utamanya financial. Baik itu di Indonesia Super Liege (ISL) maupun kasta di bawahnya, Divisi Utama maupun Divisi 1 di tamat kompetisi banyak menanggung hutang. Kaprikornus dalam hal ini rata-rata klub sepakbola di Indonesia lebih memikirkan kewajiban menuntaskan kompetisi daripada memikirkan laba yang harus diraih klub profesional yaitu industri sepakbola.
Benar kata pepatah jawa, Jer basuki mawa beya artinya Setiap klub di ISL yang ingin mengambil pemain-pemain yang elok harus mempunyai dana yang besar. Tanpa dana yang cukup,  mustahil sebuah klub memboyong pemain mahal untuk bergabung. Dan itu masih diperparah dengan kinerja pengurus klub sepakbola yang model penggalian dananya masih banyak yang berharap pada Pemkab/Pemkot untuk mencarikan solusi dana, dengan dalih semua demi pelatihan putra tempat yang bermain di klub itu. Kalau model penggalian dana menyerupai itu terus tidak mungkin prestasi pesepakbola di tanah air terutama pemain berusia muda sanggup berkompetisi dengan baik alasannya sebagian besar klub sepakbola di Indonesia ketika ini lebih asyik menggunakan jasa pemain abnormal tanpa melihat kualitas pemain itu.
            Untuk membahas permasalahan di atas kiranya perlu kita, pelaku-pelaku olahraga khususnya para pengelola dan pengurus klub sepakbola untuk lebih sanggup bercermin pada kompetisi di tingkat internasional, baik itu Serie A di Italia, Premier League di Inggris, La Liga di Spanyol ataupun di Bundes Liganya Jerman. Bukan dalam arti menjiplak atau menciptakan teknik administrasi menyerupai di klub-klub itu tetapi sanggup terinspirasi dengan model penggalian dananya.
            Sedikit membahas wacana model pendapatan dan penghasilan klub di Serie A, secara standar, pemasukan klub bisa berasal dari penjualan tiket (Termasuk tiket terusan), kontrak televise, merchandising, penjualan pemain, uang hadiah, investasi, sponsorship serta bunga bank. Porsi pemasukan ini semestinya berimbang.
            Di Italia kasusnya tidak demikian. Pemasukan uang klub-klub Serie A sangat bergantung pada kontrak dengan televisi. Angkanya hingga lebih dari 50% total pendapatan klub. Lima klub terdepan Italia bisa dianggap mewakili.
            Pemasukan uang klub AC Milan, dari kontrak televisi mencapai 59% Juventus 54% Inter Milan 58% AS Roma 58% sedangkan Lazio 53%. Klub Italia tidak bisa memaksimalkan pemasukan dari tiket serta sektor komersial., tidak menyerupai klub kaya di negara lain. Ambil pola klub paling kaya di dunia tahun 2006 versi Deloitte Football Money League yakni Real Madrid dengan bintang-bintang dunianya menyerupai Christiano Ronaldo, Higuain, Benzema, Ozil dll. Pemasukan El Real dari kontrak televisi hanya 32% dan tiket 23% . Namun Madrid bisa mendatangkan uang dari bintang mereka lewat sponsorship, lisensi dan merchandising. Pemasukan dari sektor komersial ini bisa mencapai 45%. Dengan kondisi keuangan yang tidak sehat, klub-klub Italia jadi harus memikirkan cara semoga mereka bisa survive. Berbagai cara semoga mereka tetap survive antara lain ada klub yang memberlakukan salary cap (pembatasan honor pemain) salah satunya ialah pola pemain Lazio yakni Gli Aquillotti yang mempunyai pendapatan diatas Rp. 9,5 M semusim.
            “Ketika saya memperkenalkan salary cap tiga tahun kemudian (tahun 2005), semua menertawakan saya, kini ide kami menjadi model.” Ujar bos Lazio Claudio Lotto di Messaggero. Bagi klub yang tidak memberlakukan salary cap, tetap ada cara lain untuk mengurangi pengeluaran gaji. Sebut saja Juventus yang tega memangkas 20% mascot Alexandro Del Pierro dalam proposal perpanjangan kontrak yang baru. Ada pula tren untuk tidak menjual hak siar ke televisi secara kolektif, yang dilakukan semenjak 1999. Klub menjual hak siar secara individu, tetapi efeknya ada perbedaan signifikan antara hak siar klub besar dengan klub kecil.
            Tren lain ialah belanja pemain yang tidak lagi menghabiskan dana gila-gilaan. Peminjaman, status kepemilikan bersama (comproprietal) atau merekrut pemain yang sudah berstatus free transfer sehingga gratis merupakan pilihan ideal. Masalah honor dan pengetatan anggaran belanja pemain ini yang menciptakan klub-klub Italia belakangan kalah bersaing dengan agresi klub Inggris atau Spanyol di bursa transfer.
            Yang menjadi hal vital ialah mengenai bonus, di Italia bonus paling tinggi yang diberlakukan ialah 6.5 juta euro (sekitar Rp.80 M). Angka ini malah sudah usang dilewati liga-liga di negeri top lainnya, terutama Inggris dan Spanyol.
            Disini bukan tak hendak menggugah klub ISL supaya menjiplak cara-cara menggali dana klub menyerupai di atas, tetapi setidaknya model menyerupai itu sanggup dijadikan tumpuan untuk menyebabkan klub ISL lebih profesional dan layak jual sehingga sanggup bersaing secara kuantitas maupun kualitas. Tetapi sekali lagi dalam hal ini induk organisasi menyerupai PSSI juga perlu dipertanyakan posisinya dalam urusan sponsorship.
            Pada hasilnya memang harus ada wacana pembebasan klub untuk mencari sponsor tanpa harus melibatkan pihak BLI. Misalkan Persija Jakarta sanggup menghitung pemasukan klub seandainya dari Tiket 16% Komersial 25% Kontrak TV 59% atau Arema Malang dari tiket berani 42% Komersial 29% Kontrak TV 29% atu dengan klub SriwijayaFC Palembang mematok Tiket 24% Komersial 59% Kontrak TV 17%.
            Sponsor merupakan salah satu sumber pemasukan uang yang seharusnya banyak membantu proses operasional klub. Di klub ISL memang tugas sponsor masih sepenggal-sepenggal dalam arti satu klub tidak hanya satu pesan sponsor tetapi lebih dari satu. Misal untuk produk kostum dari Nike, logo kostum bertuliskan Bank Papua.
Memang harus ada pengaturan yang terperinci dalam hal sponsor. Bisa saja klub mengikat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang pemiliknya masuk orang-orang terkaya di Indonesia misal Djarum, HM Sampoerna, Grup Bakrie atau perusahaan lokal menyerupai Sido Muncul, Bank pemerintah bahkan perusahaan abnormal menyerupai Freeport, Honda, Yamaha sanggup dijadikan partner. Dalam hal ini penulis memberi apresiasi yang tinggi terhadap perusahaan rokok Djarum, bahwa melalui Djarumlah prestasi-prestasi olahraga anak negeri sanggup terakomodasi. Tidak hanya melalui sepakbola saja tetapi Djarum sudah populer diseluruh dunia dengan bulutangkisnya. Menurut saya pemerintah tidak usahlah memberikan pesan-pesan pihak abnormal yang justru malah menghancurkan tidak hanya segi olahraganya tetapi masuk ke segi ekonomi seandainya pemerintah ikut-ikutan melarang produk rokok. Memang kalau ada sponsor selain Djarum boleh-boleh saja dijadikan partner, menyerupai dulu ada Liga Djos Indonesia kemudian ini mengikat Ti Phone.
            Betapa manisnya jikalau nantinya setiap klub diberi otoritas sendiri tanpa dicampuri tangan-tangan PSSI, dan untuk ketika ini memang setiap klub harus mulai dikelola secara proporsional dan profesional sejati sehingga dibutuhkan ada sedikit klub tapi berlabel profesional. Karena untuk menuju ke profesional ada syarat-syarat yang harus dipenuhi klub. Maka apabila itu dikaji dan dinilai dari aneka macam aspek, maka sanggup menjadi peluang bisnis menyerupai halnya klub-klub besar di negara sepakbola, alasannya :
1)      Dengan majunya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas sebuah klub sepakbola dan pemain berkualitasnya, maka penonton akan tiba ke venue meski ada siaran live dari TV pemegang hak siar sekalipun.
2)      Dengan berkembangnya bisnis sepakbola maka sepakbola sanggup menjadi komoditas unggulan ekonomi baik di tingkat nasional maupun daerah.
3)      Dengan ditargetkannya pariwisata sebagai komoditas unggulan kala 21, maka industri  sepakbola sanggup berpeluang maju seiring dengan kemajuan industri pariwisata.

Tetapi apabila dikaji juga dari beberapa aspek peluang bisnis sepakbola sanggup juga menjadi bahaya bagi keberadaan pemain-pemain muda usia, alasannya :
1)      Kurang profesionalnya cara, sistem dan pengelolaan sepakbola di Indonesia serta kurang terpadu dan selarasnya klasifikasi kebijakan pemerintah, maka akan mengancam bisnis sepakbola itu sendiri.
2)      Dengan terbukanya pasar barang dan jasa, baik regional maupun global terbuka kesempatan bagi masuknya tenaga kerja abnormal dari negara-negara  Asean dan manca negara lainnya, sehingga mengancam keberadaan pemain nasional dan lokal untuk bersaing dengan kepiawaian dari segi teknik, taktik, fisik dan psikis dengan pemain asing.
3)      Adanya serbuan pemain-pemain abnormal yang harganya relatif lebih murah, lebih berkualitas, lebih bermutu disbanding dengan pemain lokal, akan mengancam keberadaan pemain lokal untuk bisa bersaing.

            Melalui momen kebangkitan Timnas U-23 di Sea Games Myanmar 2013 dan piala dunia 2014 di Brazil serta momentum kebangkitan Timnas U-19 yang akan tampil di piala asia U-19 akan menjadi epilog kebangkitan prestasi Timnas Sepakbola di tamat tahun 2013 ini. Dan merupakan satu langkah maju yang perlu diacungi jempol, alasannya sadar diri akan apa yang selama ini terkait dengan persepakbolaan ketika ini belum menjadi sebuah industri sepakbola, padahal sebuah industri akan menghasilkan barang dan jasa. Setidak-tidaknya apa yang telah dilakukan PSSI dengan kompetisi ISLnya sudah lebih baik jikalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya meskipun prestasi yang dihasilkan belum optimal, tetapi mungkin melalui paparan di atas para pengelola klub sepakbola sanggup lebih arif dan bijak dalam mengelola suatu klub sepakbola sehingga tidak hanya sebagai kegiatan rutin saja dengan menghabiskan dana milyaran rupiah tetapi sanggup mencar ilmu menghasilkan dana milyaran rupiah.
            Melalui sumbang pikir dari saya ini, meskipun mungkin tidak ada manfaatnya, namun saya sebagai pemerhati olahraga khususnya sepakbola merasa bersyukur alasannya menerima kesempatan untuk memberikan ungkapan langsung saya yang mungkin sanggup bermanfaat bagi pembaca dan lebih khusus para pengelola klub sepakbola, sehingga apa yang menjadi beban pendanaan klub sepakbola sanggup lebih ditemukan jawabannya.
            Terimakasih atas kesempatannya.


Referensi :
Tabloid BOLA 2007
SARASEHAN OLAHRAGA di Jepara 2009